Waktu Semester 6 buat paper nihh disuruh dosen Teologi PL, nah saya ingin share nihh tentang KONSEP SUNAT..
bagi temen-temen yang ingin menambahin postingan saya, tolong isi di komentar ya..
T'rima Kasih^^
RELEVANSI
bagi temen-temen yang ingin menambahin postingan saya, tolong isi di komentar ya..
T'rima Kasih^^
BAB
I
PENDAHULUAN
Sebagai
warga Kristen yang beriman berarti kita adalah manusia yang berpengharapan di
dalam Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus akan mendapatkan keselamatan, kasih
karunia dan hidup yang kekal. Apakah yang menjadi alat keselamatan tersebut? Di
dalam PL kita mengenal sunat (Kej 17.1-27), sedangkan dalam PB kita mengenal
baptisan dan kita sebagai warga Kristen juga mengenal sunat. Akan tetapi tidak
sampai disitu saja, namun bagaimana sebenarnya latar belakang sunat itu.
Sampai
saat ini banyak dijumpai kebingungan di kalangan Kristen perihal sunat. Di satu
sisi, memang tidak ada petunjuk resmi secara kelembagaan atau institusi Kristen
boleh tidaknya sunat dilakukan bagi orang Kristen. Perjanjian Baru (PB),
khususnya teladan yang diberikan Rasul Paulus, sunat maupun tidak sunat bukan
hal yang terlalu penting. Apakah sunat
itu perlu atau tidak. Sebab yang lebih penting adalah perlunya seorang
sebagai ciptaan baru. “Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya,
tetapi menjadi ciptaan baru itu yang lebih penting dan ada artinya(Gal 6:15).
Namun,
bagi yang melaksanakan perintah Perjanjian Lama (PL), sunat bagi orang yang
sudah diselamatkan Allah merupakan keharusan karena suatu inisiasi gagasan
perjanjian dan ditetapkan oleh Allah. Bahkan jika tidak melakukan sunat, maka
akan mendapatkan hukuman (Kej 17:14; Kel 4:24, 26), tidak diperkenankan
melakukan pernikahan campuran dengan orang yang tidak bersunat (Kej 34:14; Hak
14:3), dan tidak boleh bergaul dengan orang yang tidak bersunat (Kis 10:28;
11:3; Gal 2:112). Maka dalam makalah ini kami akan membahas tentang konsep
sunat.
BAB II
PEMBAHASAN
Arti Sunat
Sunat menunjukan beberapa arti,
yaitu:
Sebagai pengampunan dosa
Pemotongan
dan pembuangan kulup adalah lambang pembuangan dosa dan darah yang keluar itu
menunjukan bahwa perdamaian hanya bisa terdapat dengan darah Kristus, suatu
“materai kebenaran berdasarkan iman” (Roma 4:11).
Lambang hidup baru yang diberikan
kepada orang beriman
Suatu
pertanda hati yang bersunat, yakni hati baru yang diberikan kepada orang
beriman (Ulangan 10:16; 30:6; Roma 2:29).[1]
Tanda Perjanjian
Perjanjian
sunat bekerja atas dasar kesatuan rohani antar anggota rumah tangga dan
kepalanya. Perjanjian itu diadakan Aku dan engkau serta keturunan mu turun
temurun (Kej 17:7). Tanda sunat diberikan Allah kepada Abraham sebagai tanda
perjanjian yang diadakan Allah dengan Abraham. Ayat 26 dan 27 khususnya
mengungkapkan kebenaran yang sama: Abraham, Ismael, dan semua orang dari isi
rumah Abraham disunat bersama-sama dengan dia. Setiap laki-laki di dalam rumahnya dan
diantara keturunannya haruslah disunat: juga hamba-hamba yang dibeli dengan
uang dan yang tinggal dirumahnya dan menjadi kepunyaan Abraham, haruslah turut
disunat.
Mempunyai arti kebangsaan
Sunat
bersifat kebangsaan yang mencirikan keanggotaan bangsa Israel, tidak dapat
disangkal. Hal itu memang sama jelasnya dalam Kej 34 seperti juga setelah Musa
(Hak 14:3). Tetapi sifat kebangsaan itu sebenarnya hanyalah dampak sampingan,
karena umat Israel pemilik sunat itu disamakan dengan bangsa Israel PL.
Artinya, sunat menandai gerakan yang penuh kasih karunia dari Allah menuju
manusia, dan hanya secara sekunder saja dapat dikatakan menandai penyerahan
manusia kepada Allah. Ketika bangsa itu mengembara di padang gurun karena tidak
diperkenan Allah (Bil 14:34), perjanjian itu seolah-olah ditunda dan sunat
tidak diberlakukan. Ketika Musa berbicara tentang “seorang yang tidak petah
lidahnya” (harafiah “tak bersunat”) (Keluaran
6:11, 29; bnd Yeremia 6:10), hanya karunia firman Allah yang dapat
menyembuhkannya.
Mewujudkan tanda rohani antara Allah
dengan manusia
PL
berbicara tentang sunat sebagai “materai” atas pemberian kebenaran dari Allah.
Karena itu sunat menjadi tanda dari karya kasih karunia dimana Allah memilih
dan menandai orang-orang miliknya. Mereka yang dengan cara demikian menjadi
angota perjanjian diwajibkan menyatakannya secara lahiriah dengan menaati hukum
Allah seperti dengan tegas dituntut kepada Abraham, “hiduplah dihadapan-Ku
dengan tidak bercela” (Kej 17:1). Hubungan antara sunat dengan ketaatan
ditekankan sepanjang Alkitab (Yeremia 4:4; Roma 2:25-29; bnd Kis 15:5; Gal
5:3).
Sejarah Sunat
Menurut
Perjanjian Lama (PL) sebagai informasi tertua, mengungkapkan bahwa sunat sudah
dilakukan oleh bangsa kuno, termasuk bangsa Israel. Bangsa-bangsa Afrika,
Australia, Amerika, dan Astronesia pun melakukan hal yang sama, terlebih
bangsa-bangsa di Timur Tengah, kecuali bangsa Asyur, Filistin, dan Babel (Tes
9:25-26; Hak 14:3; 15:18; 1 Sam 14:6, 36, 2 Sam 1:20, dll).[2]
Pernah
juga dikatakan dalam Kel 4:24 dan Yos 5:2 dengan Kej 17, menyajikan tiga
catatan yang berbeda mengenai asal sunat. Tapi kenyataannya ialah Kel 4:24 tak
dapat dimengerti kecuai bahwa menyunat anak sudah kebiasaan, dan Yos 5:5
menyatakan bahwa semua yang meninggakan Mesir telah bersunat. Karena itu Kej 17
tetap menjadi satu-satunya pedoman berita Alkitab mengenai asal sunat Israel.
Sunat dihisabkan kedalam ajaran Musa terkait dengan paskah (Kel 12:44), dan
agaknya diteruskan sepanjang zaman PL (mis Yer 9:25,26).[3]
Praktek persunatan dipraktikan secara
meluas didunia kuno, tetapi asal muasal dan maksudnya tidaklah jelas. Dizaman
Alkitabiah orang-orang semitis barat, yang terdiri Dari orang-orang Israel,
Amon, Moab dan Edom disunat, tetapi orang-orang semitis timur dari Mesopotamia,
seperti orang-orang Akadia, Asyur, dan Babel tidak disunat. Orang-orang
Palestina bukan semitis mungkin aslinya adalah orang-orang Yunani awal, tidak
mempraktikan bentuk pemotongan alat kelamin ini, akibatnya, mereka ini dihina
oleh orang Israel “orang tak bersunat” (arelim) (Hak 14:3; 1 Sam 18:25;
Herodotus, Historis ii.104)
Setiap
bangsa yang melaksanakan sunat memiliki makna yang berbeda-beda. Bangsa Israel
sunat dapat diketahui dari proses perkembangannya. Dalam masyarakat Israel
terdapat dua kata untuk makna sunat. Pertama, kata khatan yang khusus
digunakan dalam hubungannya dengan perkawinan (sunat sebelum kawin). Kedua,
kata mul atau malal yang dipakai dalam hubungannya dengan sunat
pada umumnya. Pada artikel ini akan dibicarakan jenis sunat yang kedua karena
dalam konteks di Indonesia sunat ini dilakukan hampir di semua etnis di
Indonesia.
Makna
mul untuk pertama kali dimunculkan oleh Nabi Yeremia (Yer 4:4) pada saat
ia berbicara sunat hati. Hal itu berarti bahwa sunat tidak cukup atau dipararelkan
dengan sunat kulup tetapi harus sunat hati. Demikian pula dengan sunat telinga
(Yer 6:10). Dengan kata lain, dalam hubungannya dengan Yahweh dan Israel, makna
sunat bukan hanya semata-mata terletak pada sunat kulup tetapi pada sunat hati
dan sunat telinga.
Makna sunat kulup di kalangan orang Israel
makin mendapat bentuk rohani yang tegas
ketika mereka berada di pembungan Babel, saat mereka bertemu dengan orang-orang Babel yang tidak bersunat kulup pada abad
5 dan 6. Sunat
kulup ditetapkan sebagai tanda
oreang-orang Israel yang mengikat perjanjian dengan
Yahwe.
Jika sunat kulup disebut sunat luar,
dan sunat hati dan sunat telinga seperti yang
diajarkan Nabi Yeremia disebut sunat hati, sampai akhir zaman pembuangan, kedua macam sunat tersebut masih terus merupakan
pergumulan
hidup dan berlaku di tengah-tengah
bangsa Israel.[4]
Apakah
orang Kanaan disunat, tidak dapat dipastikan. Kisah menyedihkan yang
menceritakan tentang orang-orang Sikhem mengindikasikan bahwa setidaknya
kelompok orang kanaan yang ini tidak disunat. Anak-anak Yakub menuntut agar
orang-orang Sikhem disunat sebelum memberikan anak-anak gadisnya untuk dinikahi
orang-orang sikhem itu.
Sunat dalam PL
Selama
jaman PL, sunat dilakukan oleh kebanyakan bangsa lain dekat Israel termaksud orang-orang
Mesir, jadi itu bukan suatu tanda khas. Tetapi signifikansinya melekat padanya
yaitu bahwa Israel adalah unik. Diantara bangsa-bangsa semit lainnya dan di Mesir,
sunat pada umumnya tidak dilakukan terhadap bayi, dan signifikansinya tidak
jelas sunat mereka barang kali adalah suatu ritual inisiasi yang berkaitan
dengan masa pubertas, suatu symbol pengorbanan kuasa-kuasa reproduksi kepada
para dewa, atau bahkan sebagai tanda korban manusia. Hanya di Israel sunat
mempunyai signifikansi teologis bukan hanya bagi anak yang disunat tetapi juga
bagi keluarganya dan bagi komunitas yang lebih luas. Dipakainya pisau batu,
bukan pisau dari perunggu atau besi, menyiratkan kekunoan ritual itu sendiri
(Yosua 5:2).[5] Tetapi, dengan
diterangi oleh apa yang sedang terjadi hal ini dapat diterangkan sebagai sebuah
perintah bagi mereka yang telah menerima sunat gaya Mesir untuk “memperbaikinya”
di dalam ritual dengan menjalani pembuangan kulit khatan seluruhnya. Di dalam
konteks ini, Firman Allah dalam ayat 9 menjadi lebih jelas. Ketika perintah itu
telah dipenuhi, Ia menyatakan, “hari ini telah ku hapuskan celah Mesir itu
daripadamu”[6]
Menurut
bangsa Israel, sunat mengandung gagasan penyerahan diri kepada Allah, tapi
bukan inilah intinya. Sunat menjelmakan, menerapkan janji dan menghimbau orang
untuk hidup dalam ketaatan sesuai perjanjian. Darah yang tumpah dalam sunat
tidak menyatakan batas penyerahan diri itu, tapi mengungkapkan tuntutan yang
mahal yang dibuat Allah bagi mereka yang dipanggil-Nya, dan dicirikan dengan
tanda perjanjian-Nya.
Perjanjian
adalah peneguhan hubungan khusus atau komitmen pada suatu perbuatan tertentu
yang tidak terjadi secara alamiah. Ini disertai dengan sangsi-sangsi melalui
sumpah yang biasanya dilakukan dalam upacara atau pengesahan yang khidmat.
Dalam Kejadian 15, Allah merendahkan diri dengan menempatkan diri-Nya secara
simbolis dibawah kutukan untuk menegaskan kepada Abraham kepastian
janji-janjiNya. Allah lah yang bersumpah, tidak ada apapun yang diminta Abraham
(kecuali upacara sunat sebagai tanda ikatan perjanjian, lht Kej 17).[7]
Sunat dalam PB
PB tegas dan pasti bahwa: tanpa ketaatan sunat adalah omong-kosong
(Rom 2:25-29). Tanda lahiriah pudar tanpa arti jika dibandingkan dengan menaati
perintah-perintah (1 Kor 7:18, 19), iman bekerja oleh kasih (Gal 5:6) dan suatu
ciptaan baru (Gal 6:15). Namun orang Kristen tidak bebas memandang rendah tanda
itu. Walaupun sejauh tanda itu mengungkapkan keselamatan karena
perbuatan-perbuatan hukum, orang Kristen harus menghindarinya (Gal 5:2 dab),
namun dalam arti batiniah orang Kristen memerlukannya (Kol 2:13; bnd Yes 52:1).[8]
Untuk
jemaat perjanjian Baru, sunat itu diganti dengan baptisan. Sesudah Kristus datang
kebumi ini dan mencurahkan darah-Nya, maka pencurahan darah yang hanya bayangan
dari darah Kristus tidak perlu lagi, sebab itu sunat telah dihapuskan dengan
penghapusan hukum upacar (Kol 2:11, 12; Gal 5:2). Juga baptisan dikaruniakan bagi orang-orang beriman dan
keturunannya.
bahwa Bangsa Ibrani
tampaknya telah menyadari bahwa sunat mengingatkan kebersihan. Selanjutnya, sunat tampaknya
memiliki fungsi antara orang Yahudi analog dengan baptisan Kristen. Ini adalah
tanda simbol pemurnian dan komitmen untuk hubungan perjanjian dengan Allah. Sebuah
hubungan sebab dan akibat divisualisasikan. Keyakinan ini dibawa ke dalam
Gereja Awal dan menjadi titik utama konteks dalam beberapa dekade pertama (Walter A. Elwell,1998).[9]
Sunat dalam Islam
Orang
Arab sebelum agama Islam juga telah mempunyai kebiasan bersunat, suatu
kebiasaan yang diterima dari bapa leluhur mereka yakni Ismael. Muhammad hanya
menyesuaikan diri kepada kebiasaan yang telah ada itu sehingga sunat itu
dikenal dalam Islam. Dalam Al’quran sendiri hal itu tidak disebut: hanya orang
mengemukakan ayat-ayat yang memuat perintah untuk agama Ibrahim. Islam tidak
mengenal sakramen, maka dari itu, sunat bukan sakramen bagi mereka. Sunat itu
memang suatu kebiasan yang umum diterima dalam agama Islam. Menurut hukum fiqh,
sunat itu tidak diwajibkan, hanya orang mendapat pahala jika berbuat demikian
(perbuatan yang diberi penghargaan jika dilakukan, tetapi yang tidak dihukum
jika tidak dilakukan).
Perbuatan
pahala yang demikian disebut sunnah: sunat juga disebut sunnah, oleh karena
dianggap perbuatan yang harus dipuji dan dihargai. Disemua negeri Islam, sunat
itu dianggap perlu, karena itu adalah tanda ke-Islaman. Jadi mereka yang mau
menjadi orang Islam harus bersunat. Jadi dari suatu adat kebiasan, maka sunat
itu telah menjadi kebiasaan keagamaan. Sunat itu dapat dilakukan pada umur
berapapun, tetapi biasanya dijalankan pada waktu anak itu mulai remaja (umur
13-16 tahun).[10]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari
pembahasan ini telah dilihat bahwa, sunat
yang dilakukan di masa Perjanjian Lama juga memiliki makna teologis yang
mendalam, selain untuk membedakan dengan bangsa-bangsa lain yang tidak percaya
kepada Allah, juga merupakan tanda atau simbol perjanjian Allah dengan umat-Nya,
jika
seorang tidak melakukan sunat maka Allah akan memusnahkan orang tersebut (Kej
17:14), seperti yang telah diuraikan pada
bab pembahasan.
Dari
pembahasan ini, dapat dipahami bahwa sunat memang merupakan suatu simbol,
tetapi memiliki makna teologisnya baik itu dari sudut pandang PL maupun PB.
Dalam PL lebih kepada tanda, dan PB lebih kepada sunat yang baru yaitu lebih
kepada bertobat dari dosa-dosa dan
menerimah Kristus, sebab seperti kata Paulus bahwa orang-orang percaya telah
disunat dalam Kristus dan diberi hati yang baru.
RELEVANSI
Dewasa ini tidak semua melakukan sunat sebagai tanda
perjanjian dengan Allah, sebagai tanda bahwa ia menaati perintah Allah, tetapi
sudah banyak orang melakukan sunat untuk alas an kesehatan. Sunat perjanjian
telah digantikan menjadi baptisan dalam jemaat perjanjian baru , sebagai tanda
bahwa kita telah lahir baru dan siap untuk hidup di dalam Allah dan melakukan
segala perintahnya, karena tanpa ketaatan sunat hanyalah omong kosong. Sunat
kulup bukanlah lagi menjadi symbol perjanjian, namun hati, perbuatan, dan iman
kita menjadi suatu perjanjian dengan Allah bahwa kita akan hidup sesuai dengan
firman-Nya. Karena Yesus telah mati dikayu salib dan darahnya telah tercurah
untuk menebus dosa kita, maka dari itu kita juga harus memulai kehidupan kita
dengan mempercayai dengan iman dan perbuatan kita yang dinyatakan dalam diri
Yesus Kristus (1 Petrus 1:7).
[1] Bakker, Sejarah Kerajaan Allah jilid 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal.128
[2] Wismoyoadi, Wahono. S. Sunat dalam Akitab. Yogyakarta: Buletoin
LPK No 97 GKI dan GKJ Jawa
Tengah,
1978. Hal 3.
[3] Enslikopedia Alkitab Masa
Kini Jilid II. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih. Hal.426
[4] Wahono, Wismoady S, Sunat di Dalam Alkitab. Yogyakarta:
Buletin LPK GKJ dan GKI Jawa
Tengah.
Hal 4.
[6]
Sasson, Jack, “ Circumcision in the
Ancient Near East”, JBL 85( 1966) hlm 474.
[7]
Lasor, Pngantar Perjanjian 1: Jakarta,
BPK Gunung Mulia. Hal.168
[9] Walter A. Elwell, Baker. Theological Dictionary Of The Bible,
(Baker Books House Co.98, USA)
[10] Bakker, Sejarah Kerajaan Allah jilid 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal.128
Komentar
Posting Komentar